Kamis, 19 Maret 2009

tikus got dan bebek goreng

Seekor tikus got menghadang malam-malam di gang samping mushola. Sudah kuhapal betul jalur tikus yang berkeliaran sepanjang malam. Dari yang dulu takut kini menjadi biasa. Tikus-tikus itu seperti berhamburan memulai aktivitas. Dia masih menghadangku garang dengan tatap mata tajam. Aku berseru: "hei, minggirlah aku mau lewat". Tanpa menjawab dia malah makin mendekat. Tetap bergeming menatapku tajam sambil mengendus kantong plastik yang kutenteng di tangan kiri. Ya bebek goreng yang kubeli di warung pinggir jalan. Tak akan kuserahkan walau secuilpun, bisikku. Cukuplah dia mengendus bau lezatnya. Sepersekian detik kutendang tikus sialan itu dan kulari sekencang-kencangnya. Di balik pintu rumah petakku aku masih menggerutu. si#x**++j^##grhhmmmmm........ Susah payah aku membeli lauk terlezat bulan ini, masih saja ada yang tega mencoba menggagalkannya. Untung masih terselamatkan. Kalau tidak aku mesti menyiapkan 1001 alasan pada suamiku yang sangat perhitungan itu.

Rabu, 11 Maret 2009

Kekuatan Cinta

Cinta monyet semasa SMP itu membawa tapak-tapak kata yang terus mengalir hingga kini. Suka dalam tawa ceria remaja, pun sedih lara saat terbentur dengan restu orang tua. Cinta monyetpun berlalu dengan berjuta pelajaran yang berharga, yakni pelajaran merangkai kata.

Aku selalu hanyut terbuai dari apa yang kulihat, kudengar, dan kurasa. Kutuang pelan namun pasti pada gemericik kata yang terus mengalir. Perlahan sedihku dalam kesendirianpun berlalu, berganti dengan energi baru. Aku mulai mengenal satu sosok dalam situs pertemanan. Masih aku ingat betul pada tanggal 20 Oktober 2004 aku menulis satu puisi untuknya:

Angin,
begitu aku menyebutnya.
Datangnya tak bisa di duga.
Kadang semilir sepoinya membuatku terbuai.
Saat iring hujan yang membadai, takutku akannya.
Seolah dia membiarkan aku menangis,
diliput rasa takut yang dalam.
Reda, reda perlahan.
Angin,
aku membuatnya jadi angin yang menyejukkanku.
Bertutur ramah dengan semilirnya.
Membasuh peluhku dengan hembusannya.
Mendorong jalanku dengan tinggi semangatnya.
Tanpa lelah, tanpa lelah ia mengepungku.
Dan aku suka.

Singkat cerita, sosok itu mampu membangkitkan semangatku untuk lulus kuliah lebih cepat. Aku jadi lebih semangat mondar-mandir jalan kaki ke kampus untuk konsultasi skripsi. Kadang nunggu dosen pembimbing dari pagi sampai siang tanpa sarapan. Belum lagi kalau banyak revisi, mengharuskan aku lebih sering nongkrong di rental komputer seharian untuk ngetik plus ngeprint, karena aku memang tidak punya komputer sendiri.

Dalam waktu dua semester akhirnya aku mampu menyelesaikan skripsiku dengan nilai yang memuaskan, 3.56. Akupun bangga, karena kerja kerasku terpajang di perpus fakultas.
Akhirnya sosok yang aku sebut angin itupun mampu melebur kata "aku dan dia" menjadi "kita". Pun demikian jarak yang membentang antara Solo - Jakarta nyatanya bukan menjadi penghalang.

Dengan kekuatan cinta sejati, aku mampu melakukan segala sesuatu lebih dari apa yang aku duga. Syukur alhamdullilah sosok yang menjelma dalam kekuatan cinta itu kini telah menjadi suamiku.