Senin, 25 Agustus 2008

Why did I get married?


Pencapaian yang tepat pada waktunya kah? untuk masing-masing cawan yang sudah terisi penuh. Pada titik kulminasi dimana kultur dan agama mendominasi. Menikah. Yup! satu kata yang menyenangkan, mengejutkan bahkan menakutkan.

Menyenangkan mungkin pada awal-awal pernikahan, karena gairah yang masih menggebu-gebu. Mengejutkan mungkin, karena tiba-tiba dianugerahi seorang anak untuk diasuh, di didik dan dibesarkan dengan segenap tanggung jawab. Dan menakutkan mungkin, karena dalam kehidupan rumah tangga pasti akan banyak riak-riak gelombang yang menerjang.

Tapi kenapa setiap orang harus menikah?
karena dilandasi cinta? karena sudah waktunya? karena kewajiban/ibadah? karena untuk melanjutkan keturunan?

Karena dilandasi cinta?
Kalau hanya karena dilandasi cinta, berarti itu sebuah pilihan. Bagaimana kalau kita cinta setengah mati tapi orang tua tidak merestui? Bagaimana kalau kita cintanya lebih dari satu orang?

Karena sudah waktunya?
Menurut pendapat orang tua dan orang sekeliling sudah cukup umur, sudah cukup mapan. Dan lagi-lagi itu pilihan. Bukankah itu subjektif sekali. Cukup umur tapi kalau belum cukup siap mental sama saja. Cukup mapan juga ada takarannya. Cukup mapan bagi diri sendiri tentu saja belum cukup untuk menghidupi anak istri kelak.

Karena kewajiban/ibadah?
“Barang siapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi. (HR. Thabrani dan Hakim).
hmm... sangat bisa dipahami, untungnya masih bukan sesuatu yang utuh. Dan masing-masing dari kita masih perlu bertanya pada diri sendiri, sudahkah kita memelihara dari separuh yang utuh itu sebelum menikah?

Karena untuk melanjutkan keturunan?
well.. memang itu salah satu fungsi reproduksi. Melakukan hubungan suami istri dengan ikatan perkawinan tanpa takut hamil. Tapi saat ini banyak sekali orang yang menunda punya momongan karena tuntutan karier atau belum punya mental yang cukup. Dan sekali lagi itu pilihan. Konsekuensi menikah ya punya anak. Lain lagi kalau sudah siap menikah dan siap punya anak tapi belum juga dianugerahi, pasti akan sangat terpukul dan sedih jika memang memutuskan menikah karena untuk melanjutkan keturunan.

Kenapa kita harus menikah? tetap belum ada jawaban yang membuat aku terpuaskan.

Rabu, 20 Agustus 2008

Gelembung Kegalauan

Tak satupun yang mencoba memecah gelembung kegalauan itu. Mulai saat terik matahari merajai, hingga terkalahkan awan yang menggulung mendung hitam. Deret pelangi mulai siap digores. Seperti orang-orang kota yang sibuk menghalau banjir. Sebuah musim yang cukup melelahkan. Menyihir seisi bumi untuk tunduk tanpa bergumam. Sedikit berdesir tak mengapa. Karena darah senantiasa mengalir. Hey.. tapi bagaimana nasib gelembung itu? biarlah segenap tropis yang memecahnya.